Putar Balik Logika, Antara Religious dan Humanis

Sabtu, 14 Februari 2015

| | |
“Penghina Jokowi Rajin Ikut Pengajian” begitulah judul sebuah berita di sebuah media nasional pada hari kamis, 30 oktober 2014 yang lalu. Mungkin masih segar diingatan kita, tentang fenomena seorang pemuda yang bernama Muhammad Arsyad (23 th) yang sempat ditahan di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia karena menjadi tersangka penghinaan Presiden Joko Widodo di media sosial. Judul berita tersebut terasa terdensius dengan retorika pengusung humanisme di era sekarang, serangkaian logika-logika seperti halnya “Percuma taat beragama tapi tidak manusiawi”, “Daripada beragama tapi memiliki moral yang jahat lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Itulah logika dan mengandung unsur propaganda para pembenci agama yang terlihat sangat humanis namun menjurus pada atheis.

Mengenal Humanisme
Faham humanis sangat berkembang di dunia modern, khususnya di kalangan orang-orang Barat. Humanisme adalah suatu faham yang memandang bahwa manusia merupakan hal yang paling penting di dalam kehidupan. Sehingga mulia-hinanya seseorang dinilai semata-mata pada perilaku baiknya kepada sesama manusia. Hal yang biasa diistilahkan dengan ”good deeds” atau melakukan perbuatan terpuji. Humanisme tidak mengkaitkan perbuatan baik seseorang dengan Sang Pencipta. Argumentasi mereka yang menggunakan fakta-fakta empiris yang mudah diterima terkadang lebih berbahaya dari pada serbuan senjata.
Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Perubahan tersebut dianggap sangat revolusioner yang selalu mengiringi kebudayaan Barat modern yang traumatic dengan dogma gereja, hal tersebut berimbas pada keyakinan mereka yang tidak lagi percaya pada agama. Agama bagi mereka bukan tempat yang baik untuk saling menghargai manusia. Maka dari itu mereka mengganti agama dengan humanisme.
Pada dasarnya, orang-orang Barat memang masih melakukan kajian tentang studi agama. Studi agama di sana masih dilakukan secara serius, meskipun peminat bidang kajian ini tidak sebanyak bidang sains dan teknologi. Hanya saja, pendalaman kajian agama yang dilakukan tentunya jauh dari pengamalan. Agama dianggap hanya sebatas ilmu yang dituntut kebenaran dan diperdebatkan. Studi agama hanya sebagai ilmu yang hanya menambah koleksi jurnal-jurnal kajian religious, bukan untuk diyakini apalagi diamalkan. Sehingga sangatlah wajar jika paham humanisme pada akhirnya menjurus kepada atheis.

Sejarah Humanisme
Pada abad ke-15, humanisme dan renaissance saling mempengaruhi, dan keduanya tidak lagi bersifat Kristen. Humanisme bercorak keduniawian. Berkembanglah pendapat bahwa orang hidup harus menikmati segala kesenangan yang diberikan oleh dunia ini. Kaum humanis adalah materialis, tidak percaya akan dunia rohani, dan empiristis dalam pendekatan mereka terhadap pengetahuan dengan mempertahankan bahwa pengetahuan datang dari indera.
Humanisme barat berkembang dalam dua bentuk sebagai humanisme moderat dan sebagai humanisme anti agama. Humanisme moderat menjunjung tinggi keutamaan manusia yang luhur seperti kebaikan hati, kebebasan hati, wawasan yang luas, keterkaitan dengan seni, universalisme (Nilai budi dijunjug tinggi). Merasa dekat dengan alam, penolakan fatalisme, toleransi positif,
Humanisme anti agama dipahami sebagai takhayul atau keterikatan manusia pada irasionalitas sehingga manusia dapat menemukan dirinya jika ia melepaskan diri dari agama.Tokoh humanisme atheis Ludwig Feurbach (1804-1872) yang memakai agama sebagai keterangan manusia. Karx Marx memandang agama sebagai candu masyarakat. Disebut juga Friederic Nietzsche, Sigmund Freud (agama sebagai ilusi) dan Jean Paul Sartre.
Humanisme nyaris identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis. Terdapat dua manifesto penting yang diterbitkan oleh kaum humanis di abad yang lalu. Yang pertama dipublikasikan tahun 1933, dan ditandatangani oleh sebagian orang penting masa itu. Empat puluh tahun kemudian, di tahun 1973, manifesto humanis kedua dipublikasikan, menegaskan yang pertama, tetapi berisi beberapa tambahan yang berhubungan dengan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pada itu. Ribuan pemikir, ilmuwan, penulis, dan praktisi media menandatangani manifesto kedua, yang didukung oleh Asosiasi Humanis Amerika yang masih sangat aktif.
Jika kita pelajari manifesto-manifesto itu, kita menemukan satu pondasi dasar pada masing-masingnya: dogma atheis bahwa alam semesta dan manusia tidak diciptakan tetapi ada secara bebas, bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada otoritas lain apa pun selain dirinya, dan bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat. Misalnya, enam pasal pertama dari Manifesto Humanis adalah sebagai berikut:
Pertama: Humanis religius memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan.
Kedua: Humanisme percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai hasil dari proses yang berkelanjutan.
Ketiga: Dengan memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme tradisional tentang pikiran dan jasad ha-rus ditolak.
Keempat: Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana digambarkan dengan jelas oleh an-tropologi dan sejarah, merupakan produk dari suatu perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian besar dibentuk oleh budaya tersebut.
Kelima: Humanisme menyatakan bahwa sifat alam semesta digambarkan oleh sains modern membuat jaminan supernatural atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak dapat diterima…
Keenam: Kita yakin bahwa waktu telah berlalu bagi teisme, deis-me, modernisme, dan beberapa macam “pemikiran baru”
Kerancuan Paham Humanisme
Pada tahun 1948 terbentuklah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang merupakan standarisasi kemanusiaan yang formal dan disepakati banyak Negara pendukung humanism tanpa melibatkan agama-agama yang menjadikan hasilnya deklarasi bersifat tidak universal. Logikanya, jika memang ingin membuat suatu aturan humanism, standar yang dibuat haruslah dapat diterapkan kepada seluruh masyarakat dunia yang memiliki ragam suku budaya dan agama. Disinilah letak kecacatan deklarasi DUHAM yang bersifat sangat tendensius dan menjurus dukungan kepada atheis juga pembenci agama.
Deklarasi DUHAM rupanya menimbulkan berbagai reaksi tidak puas dari kaum religious. Reaksi tersebut ditandai dengan diadakannya acara Project on Religion and Human Right pada tahun 1993 di New York yang merupakan prakarsa untuk merevisi DUHAM dari kaum religious.Tidak hanya mendapat protes dari kaum religious barat, di kalangan umat Islam yang berasal dari Negara Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir dan sebagainya juga turut menyadari dominasi humanism tendensius dalam DUHAM.
Mereka menganggap DUHAM gagal memasukkan pertimbangan konteks cultural dan religious dari Negara-negara non Barat. Utusan Iran di PBB tahun 1981, Said Rajaie-Khorassani malah menyatakan bahwa “DUHAM adalah hasil pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi Kristen yang tidak dapat diterapkan ke dalam Islam”

Islam Lebih Rasional dan Humanism
Pada 5 Agustus 1990, tiga tahun lebih awal dari acara Project on Religion and Human Right di New York, umat Islam lebih dahulu mengeluarkan deklarasi tandingan DUHAM untuk membungkam kaum humanism. Deklarasi tersebut bernama Cairo Declaration on Human Right in Islam (CDHRI) yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) dengan diikuti 45 menlu Negara OKI. Deklarasi tersebut bertujuan memberikan gambaran hak-hak asasi manusia menurut Islam yang mengacu pada syariat Islam.
Jika menurut manifesto humanism yang meyakini bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat adalah benar, tentunya isi Deklarasi Cairo akan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, nyatanya tidak dan hal tersebut membuktikan bahwa logika kaum humanis tersebut adalah salah.
Bahkan Deklarasi Cairo tidak ekslusif untuk umat islam saja. Ada terdapat banyak pasal tentang pelarangan diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, agama, afiliasi politik dan status sosial. Jadi, logika yang benar adalah semakin religious seseorang justru ia semakin manusiawi, tapi semakin humanis seseorang justru semakin atheis.
Islam mengatur manusia dengan sangat sempurna akan kehidupan bermasyarakat dan menjunjung tinggi hubungan dengan manusia sebagaimana hadist Nabi :
“Manusia yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Dan perbuatan yang paling disukai di sisi Allah ialah mendatangkan kebahagiaan kepada sesama muslim.” (HR Thabrani)
Berjiwa humanis memang merupakan bagian dari ajaran Islam, tetapi jika menyandingkan Islam dengan ajaran duniawi Humanisme adalah suatu kesalahan. Islam terlalu sempurna jika disandingkan dengan paham Barat yang baru lahir pada penghujung abad 15 itu.  Justru sinkretisme Islam dengan ideologi lain malah akan mencederai dari kesempurnaan agama Islam itu sendiri sebagai agama yang sempurna dan paripurna, tidak ada keraguan padanya sedikitpun.
Manusia yang berideologi humanisme melakukan segenap kebaikannya tanpa dilandasi iman kepada Allah dan Hari Akhir. Sedangkan seorang muslim mengerjakan kebaikan apapun senantiasa dilandasi pengharapan akan ridha, rahmat dan ampunan Allah bagi dirinya dan sesama manusia kelakpada hari kebangkitan. Jika ia berbuat baik namun tidak diiringi dengan keyakinan akan adanya bari berbangkit, maka perbuatannya menjadi sia-sia di mata Allah. Walaupun ia tetap akan mendapat manfaat di dunia, namun di akhirat perbuatannya tersebut tidak memberi kebaikan apapun bagi si pelaku. Sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW :
Berkata Aisyah radhiyallahu ’anha: “Ya Rasulullah, di masa jahiliyyah Ibnu Jud’an menyambung tali silaturrahim dan memberi makan kepada orang miskin. Apakah hal itu dapat memberikan manfaat bagi dirinya?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjawab: “Semua itu tidak akan memberikan manfaat baginya karena sesungguhnya dia tidak pernah seharipun berdoa: ”Ya Rabbku, ampunilah kesalahanku pada hari Kamat.” (HR Muslim 315)

Sumber Artikel :
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Misykat Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam (Jakarta:   INSIST, 2012).
Artawijaya, Indonesia Tanpa Liberal (Jakarta: Pust ka Al-Kautsar, 2012).


Id.harunyahya.com

alhamdulillah, selesai juga artikelnya. maaf masih amatir nulis serius, tulisan acak kadut untuk persyaratan SPI Tanpa JIL di INSIST Jakarta, yaaa semoga lolos dah. lebih gampang nulis berita pers euy.lebih gaampang lagi nulis curhatan XD. -- #fiuuuhhh 

0 komentar: