Oleh : Rosmayani Nor Latifah
A.
Definisi Wahyu
Menurut Syaikh Rasyid Ridho wahyu adalah
pemberitahuan yang bersifat tertutup tidak diketahui pihak manapun, cepat dan
hanya untuk yang dituju.[1] Wahyu
menjadi sebuah petunjuk yang sangat penting bagi manusia untuk mengenal Allah
SWT dimulai dari mengenal sifat-sifat Allah, kekuasaan atas alam semesta,
kehendak, perintah dan laranganNya. Pemaknaan wahyu didasarkan pada Al-Qur’an
dan teks-teks yang menjadi acuan bahasa dan pengertian metaforis dalam bahasa
Arab. Dalam arti bahasa dengan pendasaran pada ayat-ayat wahyu adalah[2] :
1.
Ilham sebagai
bawaan dasar manusia
Dalam surat Al-Qashshas ayat 7 Allah berfirman “Dan
Kami Wahyukan Kepada Ibu Musa : susuilah dia…”
2.
Insting naluri
pada binatang, seperti wahyu pada lebah
Dalam surat An-Nahl ayat 68 Allah berfirman “Dan
diwahyukan Tuhanmu kepada lebah untuk mengambil dari bukit-bukit itu sebagai
rumah, juga dari pohon-pohon, dan dari tempat-tempat bersemayamnya manusia”
3.
Isyarat cepat
melalui kode, seperti isyarat Nabi Zakaria
Dalam surat Maryam ayat 11 Allah berfirman “Maka
keluarlah dia dari mihrab kaumnya, lalu berisyarat kepada mereka, bertasbihlah
kelian pada waktu pagi dan petang”.
4. Bisikan
dan tipu daya untuk menjadikan sesuatu tampak indah dalam diri manusia
Dalam surat Al An’aam ayat 112 Allah berfirman “dan
demikian kami jadikan bagi tiap nabi-nabi itu musuh yaitu setan dari jenis
manusia dan dari jenis jin-jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian
yang lain perkataan-perkataan yang indah menipu”.
5.
Apa yang disampaikan Allah sebagai suatu
perintah untuk dikerjakan
Dalam surat Al Anfal ayat 12 Allah berfirman “Ingatlah
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “sesungguhnya AKu bersamamu!”
maka teguhkanlah orang-orang yang beriman”.
Pemaparan
diatas menjadi suatu bukti yang nyata bahwa wahyu bersifat otentik, merupakan
pesan langsung dari Allah kepada makhluknya. Bukan suatu yang berasal dari
inspirasi Nabi Muhammad atau[un karangan Nabi Muhammad seperti yang telah
dituduhkan kafir quraisy maupun kaum orientalis hingga saat ini.
B.
Memaknai
Kenabian
Dalam
islam penyampai pesan Allah atau wahyu adalah Nabi dan Rasul. Rasul ialah
seorang manusia lelaki yang merdeka, yang diberi wahyu oleh Allah berupa suatu
syara’, dan ia wajib menyiarkan syara' itu kepada seluruh umatnya. Sedangkan
nabi hanya menerima wahyu dan tidak wajib untuk menyiarkannya kepada umatnya.[3]
Jika
demikian, risalah adalah lebih tinggi kedudukannya daripada kenabian. Karena
setiap rasul adalah nabi, tetapi seorang nabi belum tentu rasul.[4]
Nabi
dan Rasul dihadirkan Allah ke muka bumi untuk menyeru kepada seluruh manusia
agar beriman kepada Allah SWT. Sehingga kewajiban untuk mengimani Nabi dan
Rasul pun menjadi sangat penting dalam perjalanan meningkatkan keimanan
penyelamat manusia dari kemungkaran dan kesesatan.
Dalam
Al-Qur’an surat Fatir ayat 24 Allah Berfirman “Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang
pemberi peringatan”
juga Allah berfirman:
(Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhi Taghut).
(Al-Naml:36)
juga Allah berfirman:
(Kemudiaan Kami
utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturu-turut).
(Al-Mu’minin:44)
juga Allah berfirman:
(Dan bagi
tiap-tiap satu umat ada seorang Rasul). (Yunus:47)
Alasan logis di balik
pengutusan seorang rasul atau nabi kepada mereka tersebut tidak lain agar
manusia tidak lagi berargumentasi dan membantah Allah untuk tidak beriman kepada-Nya serta tidak menyembah-Nya.
Allah berfirman: “Mereka Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Al-Nisa’:165). Maka dari itu, sebagai konsekwensi
logis juga, suatu kaum yang belum diturunkan seorang rasul kepada mereka
tidaklah dituntut tentang ketersesatan mereka, dan mereka tidak akan mendapat
siksaan di hari kemudian.[5]
C.
Konsep
Keterkaitan Antara Wahyu dan Kenabian
Secara logika wahyu tidak dapat dipisahkan dengan subjek
dan objeknya. Ada pesan, ada penerima
pesan, ada penyampai pesan, ada yang berpesan, dan ada sebab atau sejarah kenapa
pesan tersebut disampaikan. Itu semua harus dipahamai secara utuh karena saling
berkaitan erat untuk mendapatkan pemahaman dan makna wahyu yang sebenarnya.
Difirmankan Allah pada surat Ali Imran ayat 81-85: Dan,
ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku
berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang
rasul yang membenarkan apa yang ada
padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”
Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang
demikian itu”.” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu
saksikanlah dan Aku menjadi saksi pula bersama kamu”. Barangsiapa yang
berpaling sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. Maka apakah
mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah
berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun
terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. Katakanlah: “Kami
beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang
diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa
yang diberikan kepada Musa, ’Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami
menyerahkan diri. “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa
Allah telah mengutus nabi-nabi terdahulu dan memberikan wahyu kepada mereka
dengan tujuan yang sama menyebarkan agama Islam sebagai jalan menuju kedamaian
dan kesejahteraan.
Nabi Muhammad merupakan Nabi terakhir yang membawa
kelengkapan wahyu yang telah diturunkan pada Nabi-Nabi terdahulu.
Sebagai wahyu pamungkas, al-Wahyu
al-Muhammadi ini memiliki keistimewaan yang karakteristik dibanding
dengan wahyu-wahyu sebelumnya. Keistimewaan ini adalah
bahwa ia disebutkan dalam al-Qur’an sebagai muhaymin (pengawas,
saksi, korektor, refree) bagi kitab-kitab suci sebelumnya[6]:
{وأنزلنا
إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب ومهيمنا عليه}
(Dan
telah aku turunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab (al-Qur’an) dengan membawa
kebenaran, untuk mengesahkan benarnya Kitab-Kitab Suci yang sebelumnya, dan
untuk memelihara serta mengawasinya). (Al-Ma’idah: 48)
[1]
Rasyid Ridho, Al-Wahy Al Muhammadi (Beirut
: Daarul KutubAl Islamiyah, 2005) hal.25
[2]
Manna’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an Terjemah Mahabis Fii Ulumil Qur’an, Penerj: Drs. Mudzakir AS (Bogor:
Litera Antar Nusa,2011) Hal. 36-37
[3] Sayyid Husein Afandi
Al jisr Ath Thorabilisiy, Memperkokoh Aqidah Islamiyah Dalam Perspektif
Ahlusunnah
Waljamaah:
Terjemah Al Hushuunul Hamidiyyah Lil Muhaafadhah Alal Aqqa'I'd Al Islamiyyah, penerj: KH
Abdullah Zakiy Al Kaaf(surabaya: Pustaka Setia, 1999)hal.53
[4] Muhammad Ali Ash
Shabuni, Kenabian dan Para Nabi Terjemah An Nubuwwah wal Anbiyaa' ,
Penerj: Arifin
Jamian
Maun(Surabaya: Bina Ilmu,1993)hal.13
[5] Admin “Universalitas Wahyu dan
Kenabian : Counter-Argumen Pluralisme Agama (I)” 30 Agustus 2009,http://inpasonline.com/new/universalitas-fenomena-wahyu-dan-kenabian-counter-argumen-pluralisme-agama-i/
[ONLINE], HTML, 9 April 2015.
[6] Admin “Universalitas Wahyu dan
Kenabian : Counter-Argumen Pluralisme Agama (Habis)” 12 Oktober 2009 http://inpasonline.com/new/universalitas-fenomena-wahyu-dan-kenabian/
[ONLINE], HTML, 9 April 2015.
0 komentar:
Posting Komentar