Konsep Keterkaitan Antara Wahyu dan Kenabian Dalam Islam

Kamis, 09 April 2015

| | |
Oleh : Rosmayani Nor Latifah
A.    Definisi Wahyu
Menurut Syaikh Rasyid Ridho wahyu adalah pemberitahuan yang bersifat tertutup tidak diketahui pihak manapun, cepat dan hanya untuk yang dituju.[1] Wahyu menjadi sebuah petunjuk yang sangat penting bagi manusia untuk mengenal Allah SWT dimulai dari mengenal sifat-sifat Allah, kekuasaan atas alam semesta, kehendak, perintah dan laranganNya. Pemaknaan wahyu didasarkan pada Al-Qur’an dan teks-teks yang menjadi acuan bahasa dan pengertian metaforis dalam bahasa Arab. Dalam arti bahasa dengan pendasaran pada ayat-ayat wahyu adalah[2] :
1.      Ilham sebagai bawaan dasar manusia
Dalam surat Al-Qashshas ayat 7 Allah berfirman “Dan Kami Wahyukan Kepada Ibu Musa : susuilah dia…”
2.      Insting naluri pada binatang, seperti wahyu pada lebah
Dalam surat An-Nahl ayat 68 Allah berfirman “Dan diwahyukan Tuhanmu kepada lebah untuk mengambil dari bukit-bukit itu sebagai rumah, juga dari pohon-pohon, dan dari tempat-tempat bersemayamnya manusia”
3.      Isyarat cepat melalui kode, seperti isyarat Nabi Zakaria
Dalam surat Maryam ayat 11 Allah berfirman “Maka keluarlah dia dari mihrab kaumnya, lalu berisyarat kepada mereka, bertasbihlah kelian pada waktu pagi dan petang”.
4.      Bisikan dan tipu daya untuk menjadikan sesuatu tampak indah dalam diri manusia
Dalam surat Al An’aam ayat 112 Allah berfirman “dan demikian kami jadikan bagi tiap nabi-nabi itu musuh yaitu setan dari jenis manusia dan dari jenis jin-jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah menipu”.
5.      Apa yang disampaikan Allah sebagai suatu perintah untuk dikerjakan
Dalam surat Al Anfal ayat 12 Allah berfirman “Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “sesungguhnya AKu bersamamu!” maka teguhkanlah orang-orang yang beriman”.
Pemaparan diatas menjadi suatu bukti yang nyata bahwa wahyu bersifat otentik, merupakan pesan langsung dari Allah kepada makhluknya. Bukan suatu yang berasal dari inspirasi Nabi Muhammad atau[un karangan Nabi Muhammad seperti yang telah dituduhkan kafir quraisy maupun kaum orientalis hingga saat ini.
B.     Memaknai Kenabian
Dalam islam penyampai pesan Allah atau wahyu adalah Nabi dan Rasul. Rasul ialah seorang manusia lelaki yang merdeka, yang diberi wahyu oleh Allah berupa suatu syara’, dan ia wajib menyiarkan syara' itu kepada seluruh umatnya. Sedangkan nabi hanya menerima wahyu dan tidak wajib untuk menyiarkannya kepada umatnya.[3] Jika demikian, risalah adalah lebih tinggi kedudukannya daripada kenabian. Karena setiap rasul adalah nabi, tetapi seorang nabi belum tentu rasul.[4]
Nabi dan Rasul dihadirkan Allah ke muka bumi untuk menyeru kepada seluruh manusia agar beriman kepada Allah SWT. Sehingga kewajiban untuk mengimani Nabi dan Rasul pun menjadi sangat penting dalam perjalanan meningkatkan keimanan penyelamat manusia dari kemungkaran dan kesesatan.
Dalam Al-Qur’an surat Fatir ayat 24 Allah Berfirman “Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan”
juga Allah  berfirman:
 (Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah  (saja), dan jauhi Taghut). (Al-Naml:36)

juga Allah  berfirman:
 (Kemudiaan Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturu-turut). (Al-Mu’minin:44)
juga Allah  berfirman:
 (Dan bagi tiap-tiap satu umat ada seorang Rasul). (Yunus:47)
Alasan logis di balik pengutusan seorang rasul atau nabi kepada mereka tersebut tidak lain agar manusia tidak lagi berargumentasi dan membantah Allah  untuk tidak beriman kepada-Nya serta tidak menyembah-Nya. Allah berfirman: “Mereka Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah  sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Al-Nisa’:165). Maka dari itu, sebagai konsekwensi logis juga, suatu kaum yang belum diturunkan seorang rasul kepada mereka tidaklah dituntut tentang ketersesatan mereka, dan mereka tidak akan mendapat siksaan di hari kemudian.[5]

C.     Konsep Keterkaitan Antara Wahyu dan Kenabian
Secara logika wahyu tidak dapat dipisahkan dengan subjek dan objeknya. Ada pesan, ada penerima pesan, ada penyampai pesan, ada yang berpesan, dan ada sebab atau sejarah kenapa pesan tersebut disampaikan. Itu semua harus dipahamai secara utuh karena saling berkaitan erat untuk mendapatkan pemahaman dan makna wahyu yang sebenarnya.
Difirmankan Allah pada surat Ali Imran ayat 81-85: Dan, ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang  membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya” Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu”.” Mereka menjawab: “Kami mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah dan Aku menjadi saksi pula bersama kamu”. Barangsiapa yang berpaling sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ’Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri. “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
            Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah telah mengutus nabi-nabi terdahulu dan memberikan wahyu kepada mereka dengan tujuan yang sama menyebarkan agama Islam sebagai jalan menuju kedamaian dan kesejahteraan.
Nabi Muhammad merupakan Nabi terakhir yang membawa kelengkapan wahyu yang telah diturunkan pada Nabi-Nabi terdahulu.
Sebagai wahyu pamungkas, al-Wahyu al-Muhammadi ini memiliki keistimewaan yang karakteristik dibanding dengan wahyu-wahyu sebelumnya. Keistimewaan ini  adalah bahwa ia disebutkan dalam al-Qur’an sebagai muhaymin (pengawas, saksi, korektor, refree) bagi kitab-kitab suci sebelumnya[6]:
{وأنزلنا إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين يديه من الكتاب ومهيمنا عليه}
(Dan telah aku turunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab (al-Qur’an) dengan membawa kebenaran, untuk mengesahkan benarnya Kitab-Kitab Suci yang sebelumnya, dan untuk memelihara serta mengawasinya). (Al-Ma’idah: 48)





[1] Rasyid Ridho, Al-Wahy Al Muhammadi (Beirut : Daarul KutubAl Islamiyah, 2005) hal.25
[2] Manna’ Khalil Al Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an Terjemah Mahabis Fii Ulumil Qur’an, Penerj: Drs. Mudzakir AS (Bogor: Litera Antar Nusa,2011) Hal. 36-37
[3] Sayyid Husein Afandi Al jisr Ath Thorabilisiy, Memperkokoh Aqidah Islamiyah Dalam Perspektif Ahlusunnah
Waljamaah: Terjemah Al Hushuunul Hamidiyyah Lil Muhaafadhah Alal Aqqa'I'd Al Islamiyyah, penerj: KH Abdullah Zakiy Al Kaaf(surabaya: Pustaka Setia, 1999)hal.53
[4] Muhammad Ali Ash Shabuni, Kenabian dan Para Nabi Terjemah An Nubuwwah wal Anbiyaa' , Penerj: Arifin
Jamian Maun(Surabaya: Bina Ilmu,1993)hal.13
[5] Admin “Universalitas Wahyu dan Kenabian : Counter-Argumen Pluralisme Agama (I)” 30 Agustus 2009,http://inpasonline.com/new/universalitas-fenomena-wahyu-dan-kenabian-counter-argumen-pluralisme-agama-i/ [ONLINE], HTML, 9 April 2015.

[6] Admin “Universalitas Wahyu dan Kenabian : Counter-Argumen Pluralisme Agama (Habis)” 12 Oktober 2009 http://inpasonline.com/new/universalitas-fenomena-wahyu-dan-kenabian/ [ONLINE], HTML, 9 April 2015.

0 komentar: