Oleh
: Rosmayani Nor Latifah
Dalam kehidupan yang telah
berlangsung selama ribuan tahun lamanya satu topic yang bernama “Agama”
tampaknya tak pernah habis untuk diperbincangkan, diperdebatkan dan dicari
kebenarannya. Terdapat 2 (Dua) kelompok besar segolongan manusia yang dapat
dibedakan menjadi mereka yang biasa disebut sebagai kelompok beragama, percaya
bahwa seluruh tata kehidupan di dunia ini diatur sedemikian rupanya oleh Yang
Maha Kuasa yaitu Tuhan. Percaya pada Tuhan yang satu disebut monoteisme dan
yang perccaya pada banyak Tuhan disebut politeisme. Sedangkam kelompok yang
mengusung nilai-nilai relativitas dan materi, percaya segala yang terjadi di
dunia ini mengalir dengan sendirinya tanpa campur tangan siapapun dan tidak
percaya dengan Kuasa Tuhan adalah mereka yang biasa disebut sebagai kaum
atheis.
Di Barat Agama adalah fanatisme,
kata para sosiolog. Bahkan ketika seorang selebritinya mengatakan “My religion is song, sex, sand and
champagne” juga masih dianggap waras. Mungkin ini yang disinyalir Al-Qur’an
ara’ayta man ittakhadha ilaahahu hawaahu (QS
25:43) yang berarti “Sudahkah engkau
(Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai Tuhannya”. Pada
dataran diskursus akademika, makna religion
di Barat memang problematic. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal.[1]
Begitu banyak definisi yang mencoba
menyingkap makna agama yang sebenarnya menjadi buktinya nyata bahwa terdapat
kebingungan yang kompleks ketika mereka mendefinisikan agama hanya berdasarkan
akal, emosi, pengalaman dan intuisi saja.
F. Schleiemer kemudian
mendefinisikan agama dengan tidak terlalu doktriner, agama adalah “Rasa
ketergantungan yang absolute” (Feliing of
absolute dependence). Demikian pula Whithehead, agama adalah “Apa yang kita
lakukan dalam kesendirian”. Tapi bagi pakar psikolog, agama justru harus
diartikan dari faktor kekuatan kejiwaan manusia ketimbang faktor sosial dan
intelektual. Para sosiolog Barat nampaknya trauma dengan makna agama yang
doktriner, sehingga tidak peduli dengan aspek ekstrasosial, ekstrasosiologis
ataupun ekstrapsikologis. Aspek imanisme lebih dipentingkan daripada aspek
transedensi.[2]
Seiring
dengan berjalannya waktu beberapa keyakinan akan mulai terjadi perubahan
paradigm berdasar pada banyaknya spekulasi tentang Tuhan di kalangan kaum
Yahudi dan Kristen. Berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh Kristen dan
Yahudi membuat mereka berlepas dari Wahyu yang merupakan satu-satunya petunjuk
dari Tuhan. Inilah yang membuat konsep beragama mereka menjadi salah kaprah.
Sejatinya, akar kebingungan Barat mendefinisikan
religion karena konsep Tuhan yang
bermasalah. Agama Barat – Kristen – kata Amstrong dalam History of God justru banyak berbicara Yesus Kristus ketimbang
Tuhan. Padahal, Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya suci, apalagi
Tuhan.[3]
Padahal menurut Penjelasan Endang
Saifuddin Anshari menegaskan bahwa disebut agama jika setidaknya memiliki 3
(tiga) hal, yakni 1) tata keyakinan (sistema
credo; 2) tata peribadatan (sistema
ritus); 3) tata kaidah (sistema
norma).[4]
Maka, tidak dapat disebut agama jika tidak memenuhi ketiga syarat tersebut. Ketiga
syarat tersebut haruslah berjalan beriringan tanpa terkecuali salah satunya. Apalagi
jika hanya beranggapan bahwa agama hanyanya serangkaian fanatisme dan doktrin
belaka.
Islam adalah agama metahistoris,
bukan historis. Konsep-konsep mendasarnya (Tuhan, Nabi, wahyu, Kiamat,
Peribadatan) tidak berubah sepanjang masa. Ketika Kristen mengalami pergeseran
konsep Tuhan, keselamatan, ibadah, seperti pada saat Konsili Toledo III di
Spanyol 586 M dan Konsili Vatikan II (1962-65), maka yang tersisalah Islam yang
masih genuine dengan konsep-konsep
dasarnya yang tidak pernah berubah di mmeja Konsili, laksana agama Barat yang
terjatuh kepada agama kebudayaan ,buatan dalam pengemalaman sejarah, terkandung
dalam sejarah.[5]
Islam menjadi satu-satunya agama yang
masih terjaga kemurnian Wahyunya. Dalam Al-Qur’an Surat Al Imran ayat 19 Innadinna ‘Indallahil Islam bahwa Allah telah menegaskan bahwa
Sesungguhnya agama yang diridhai Allah hanyalah Islam. Arti kata Agama atau
bahkan Religion terlalu sempit untuk
sebuah arti kata Addin. Addin dapat
bermakna berserah diri, Taat, keberhutangan ataupun kecenderungan. Sehingga
dalam ayat tersebut mengandung maksud sesungguhnya jalan yang diridhai Allah
hanyalah berserah diri kepada Allah. Ini membuktikan bahwa Islam adalah murni
Agama wahyu atau yang biasa disebut metahistoris.
[1] Hamid Fahmy
Zarkasyi, Misykat, Refleksi tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi,
Jakarta: INSISTS, Cet. I, 2012, hlm. 20
[2] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat,
Refleksi tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi, Jakarta: INSISTS,
Cet. I, 2012, hlm. 20-21
[3] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat,
Refleksi tentang Islam, Westernisasi dan Liberalisasi, Jakarta: INSISTS,
Cet. I, 2012, hlm. 21
[4]
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat
dan Agama: Pendahuluan, Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi, Surabaya ::
PT. Bina Ilmu, 1979, hlm. 126-127
[5]
Norman P. Tanner, Konsili-Konsili Gereja,
Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 35-41.
0 komentar:
Posting Komentar