Dimasa Nabi wilayah pekuburan itu
terletak di Timur Madinah dekat dengan tanah vulkanik waqim, bernama Baqi’
Al-Gharqad, terlihat sederhana. Fadhalah menuturkan, “Rasulullah
memerintahkan kita meratakan kuburan” diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Adapun
Nabi suka membuat tanda di atas kuburan berupa batu. “Tanda
memang tidak mendatangkan manfaat juga mudarat. Tetapi, ia dapat menyejukkan
mata yang hidup. Lagi pula, bila seorang hamba mengerjakan sesuatu, Allah
senang ia menyempurnakannya” begitulah sabda Beliau.
Pada saat ini Baqi’ menempel dengan
halaman Haram (Masjid Nabawi) dari arah timur, dan telah mengalami perluasan
berkali-kali. Sehingga mudah sekali bagi jamaah untuk berziarah ke makam Baqi’.
Catatan sejarah menuliskan bahwa terdapat sekitar sepuluh ribu Sahabat Mulia, kemudian para Tabi’in, serta keluarga Rasulullah
yang di makamkan disana, itulah yang yang membuat Baqi’ begitu istimewa pun
mendapatkan do’a serta jaminan dari Rasulullah agar para penghuni Baqi’ dapat
berkumpul bersama Beliau dan Abu Bakar serta Umar radhiyallahu ‘anhuma pada
hari kiamat.
Adapun Nabi bersabda “Akulah orang pertama yang dikeluarkan
dari belahan bumi pada hari Kiamat kemudian Abu Bakar kemudian Umar kemudian
aku mendatangi penghuni Baqi’ merekapun dikumpulkan bersamaku. Kemudian aku
menanti penduduk Mekkah, maka aku akan dikumpulkan di antara dua Tanah Haram” dalam
riwayat lain Rasulullah juga bersabda “Apakah Kamu melihat pekuburan ini yakni
Baqi’, Allah akan membangkitkan darinya tujuh puluh ribu pada hari Kiamat dalam
rupa bulan purnama, mereka masuk surga tanpa hisab”.
Inilah kiranya yang
membuat hati kaum muslimin yang mengetahui dan memahaminya condong hatinya
kepada tempat ini. Demikian juga dengan ayah saya yang memiliki cita-cita dapat
meninggal di Madinah dan dimakamkan di Baqi.
|
Pekuburan Baqi' |
“Jadi ayah sudah ke Baqi?” saya bertanya kepada ayah disela
makan siang kami. “Iya, sudah. Dua hari ini ba’da ashar ayah selalu ke Baqi”
jawab ayah. Waah sayapun berkeinginan untuk kesana menziarahi Khalifah
Utsman bin Affan yang terkenal dengan kelembutan hatinya, Sahabat Abdurrahman
bin Auf sang pedagang sukses nan dermawan, Saad bin Abi Waqqash sang pemanah
ulung serta ingin mengucapkan salam kepada Ummahatul Mukminin para istri-istri Nabi nan
Shalihah. “Perempuan boleh tak Yah masuk kesana?” mengingat saya pernah
mendengar selentingan kabar bahwa di Arab perempuan tidak diijinkan untuk masuk
ke wilayah pekuburan sayapun bertanya kembali. “Kayaknya nggak ada, tapi
nanti bisa kita liat, kalau mau, ayah tunggu setelah sholat ashar di bawah payung
di dekat pintu 35”. Baiklah, tak ada salahnya mencoba. Belum apa-apa hati
saya sudah bergetar membayangkan bisa mengucapkan salam kepada para Sahabat
mulia.
Setelah sholat ashar saya bersama
kakak perempuan saya bergegas menuju pintu 35, pintu bagi jamaah laki-laki. Dan
ternyata ayah sudah menunggu dibawah payung. Tak jauh dari pintu 35 kami menuju
Baqi’ yang dekat dari tempat tersebut. Mendekati jalan menanjak menuju Baqi’ dua
orang askar sudah berjaga disana terlihat sedang berdebat dengan ibu-ibu
asal Pakistan dan Arab, saya mengenali dari pakaian mereka. Kemudian askar tersebut
dengan gerakan mengusir sepertinya tidak memperbolehkan mereka untuk memasuki
Baqi’. Saya pun mendekati perempuan Arab yang berabaya hitam tersebut mencoba
bertanya dengan bahasa arab seadanya apakah perempuan boleh memasuki Baqi? Kamis
sa’ah ila nisa’?(jam berapa untuk perempuan), dan celakanya beliau menjawab
dengan menggunakan bahasa arab logat Mesir yang saya tak dapat mengerti. Maafkan
saya ya ibu T.T
Masih penasaran dengan Baqi’ setelah kembali
ke Masjid Nabawi saya kembali mencoba bertanya dengan orang Pakistan di samping
saya, kebetulan dia terlihat terpelajar dan dapat berbahasa inggris dengan
baik. Do you ever go to Baqi’? // yes, I have gone to Baqi’ ini the morning
today at seven o’clock // Really? Baqi' open for ladies? // Yes. You can go to Baqi' until ten o'clock in the morning // Great. Wuah mata saya seketika langsung berbinar. Perempuan
Pakistan ini sudah ke Baqi’ ternyata, baiklah saya akan coba besok pagi dan
mengajak ayah untuk kembali ke Baqi’ setelah sholat shubuh. Dan keesokan
harinya saya baru mengerti kawan, ternyata saya memiliki persepsi yang berbeda dengan
perempuan Pakistan tersebut tentang yang kami maksud “go to Baqi”.
Setelah sholat shubuh dengan berjalan
cepat saya menuju pintu 35, kali ini saya hanya seorang diri tanpa di temani
kakak karena kakak sedang mendapat tugas untuk menemani jama’ah pergi ke Jabal
Magnet. Kakak memang bekerja di agen travel haji dan umroh. Saya dan ayah tidak
mengikuti tour ke Jabal Magnet kami lebih memilih untuk ke Baqi’. Setelah bertemu
ayah segera saja kami berjalan di area menajak menuju Baqi’ ada 4 askar yang
berjaga di sana dua di depan gerbang dan dua lainnya berjaga di persimpangan
setelah gerbang tak ada yang aneh semua berjalan dengan normal, saya pun
melihat banyak ibu-ibu Pakistan yang mengenakan pakaian pajang selutut dengan
celana seragam serta tak lupa khimar panjang mereka yang membalut kepala dan
menutup rambut.
Alhamdulillah ala Kulli hal. Jantung saya berdegup kencang kali
ini saya merasakan begitu dekat dengan Sahabat-Sahabat Mulia yang selama ini
saya hanya mengenal mereka dari buku sejarah Nabi, dari ceramah Ustadz Budi
Ashari dan Khalid Basalamah. Kali ini tak terbayang rasanya saya mengunjungi
mereka di tempat mulia ini Assalamu’alaikum yaa ahlil baqi’, Assalamu’alaikum
yaa Ummahatul Mu’minin, Assalamu’alaika yaa dzanuraini Utsman bin Affan. , Assalamu’alaika
yaa Abdurrahman bin Auf, Assalamu’alaika yaa Sa’ad bin Abi Waqqash. Saya sampaikan salam sejahtera untuk mereka
menarik kembali detail perjuangan para Sahabat Mulia, meneladani keshalihan
Ummahatul Mu’minin menarik simpulan atara sejarah dan hikmah dari batu-batu
tanpa nama yang berjajar rapi ini. Saya dan ayah terus berjalan hingga akhirnya
kami tiba di depan papan yang tertulis dalam bahasa Arab, Inggris dan Indonesia
“Sebentar yah, saya mau baca dulu” saya yang tertarik dengan papan besar
itu memutuskan untuk berhenti sejenak. Ternyata papan besar itu berisi tentang
Etika atau Adab ketika Berziarah ke Baqi’ diantaranya yang saya ingat
diantarany ialah mengucapkan salam kepada para penghuni Baqi’ dengan do’a yang
telah di ajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, mengingat
kematian dan akhirat, menjauhi ratapan atas mereka yang telah meninggal, tidak
boleh membacakan Al-Fatihah, surat Yassin karena Nabi tidak pernah mengajarkan
hal tersebut, dilarang melakukan tindakan seperti mengambil tanahnya pekuburan,
mengusap-ngusap batu Nissan, apalagi meminta kepada yang telah tiada.
Belum selesai saya membaca pengumuman
tersebut tiba-tiba seorang askar mendekati saya dan ayah. Tidak terlalu jelas
pada awalnya dia berbicara apa atau saya yang kurang mengerti karena masih
khusyuk membaca papan etika tadi. Hingga dia berkata kepada saya maa fi nisa’?
undzur yaa ukhti maa fi nisa’?. Jedeerrrrr rasanya seperti ada batu raksasa
yang jatuh di belakang saya. Seketika saya menoleh ke kanan dan kiri benarkah
yang disampaikan askar bahwa tidak ada perempuan di sini? Saya memahami
betul perkataannya maa fi nisa’ berarti tidak ada perempuan. Lalu,
apalah yang saya lihat tadi segerombolan ibu-ibu Pakistan? Astagfirullah
ternyata saya salah lihat, karena hanya memperhatikan dari belakang, pada
dasarnya mereka adalah segerombolan bapak-bapak Pakistan yang mengenakan
selendang layaknya perempuan mereka, mungkin dikarenakan cuaca yang masih
dingin jadi mereka mengenakan selendang tersebut. Dikemudian hari saya baru mengetahui bahwa pakaian mereka itu bernama Shalwar kameez dan merupakan pakian nasional negara Pakistan baik lelaki ataupun perempuan.
Memyadari sebagai satu-satunya perempuan di Baqi' pada saat itu, sayapun langsung beristighfar dan berbicara
kepada askar “na'am, ana akhruju al’an” [baiklah, saya keluar sekarang].
Dengan memegang baju belakang ayah, bermaksud agar tidak diketahui bahwa saya
perempuan bergegas kami keluar dari Baqi’ padahal kami sudah masuk lumayan jauh
kedalamnya. Tak apalah, dalam hati kecil saya teringat selentingan kabar lama
itu bahwa benar ternyata di Arab perempuan memang tidak boleh ke wilayah
pekuburan. Adapun saya yang telah melangkahkan kaki hingga kesini tak lepas jua daripada Allah yang
menakdirkannya seperti itu, memberikan kesempatan kepada saya untuk menyapa
Sahabat-Sahabat mulia dan para Ummahatul Mu’minin.
|
Papan Etika yang saya baca sewaktu di dalam Baqi'. sekarang hanya bisa menatapnya dari jeruji pagar |
Lalu apa yang dimaksud dengan
perempuan Pakistan yang saya tanya kemaren kalau dia berkata sudah ke Baqi’. “Ooh
mungkin maksudnya dia ke Baqi’ itu dia melihat dari balik pagar yang ada di
seberang sana” jawab ayah. Laah ternyata ayah juga baru ingat kalau kaum
perempuan memang biasanya hanya mengunjungi Baqi’ dengan mengintip di balik
pagar ya mengelilingi Baqi’. Dan akhirnya kamipun berjalan kembali menuju balik
pagar dan berdo’a untuk penghuni Baqi’ disana karena sewaktu di dalam belum
sempat berdo’a keburu di usir oleh askar.
“Salam sejahtera atas kamu hai
penghuni tempat kaum beriman! Apa yang dijanjikan kepadamu yang masih
ditangguhkan besok itu, pasti akan dating kepadamu, dan kami Insya Allah akan
menyusulmu”
Kami pun segera kembali di hotel,
hingga melalui pintu 25 ayah menunjukkan toko buku yang tak jauh dari situ. “Kalau
masih penasaran sama Baqi’ di toko buku itu kayaknya ada buku tentang Baqi’”
waah ayah memang selalu tau apa yang masih saya pikirkan setelah kejadian di
Baqi’ tadi. Baiklah, mengunjungi toko buku sepertinya akan menjadi obat mujarab
untuk rasa penasaran.
|
Nah ini dia bukunya, berisi sejarah daftar nama dan letak makam Sahabat-Sahabat Mulia yang berada di Baqi, cukup mengobati rasa penasaran saya |
Toko buku itu tidak terlalu besar
namun menyediakan buku-buku yang berbahasa Arab, Inggris, Urdu dan Indonesia. Juga
menyediakan Al-Qur’an untuk waqaf dan kursi untuk waqaf, yah lumayan
lengkaplah. Dan benar saja, saya menemukan buku yang bagus tentang Baqi’ berbahasa
Indonesia dan harganya juga hanya 10 riyal. Dan hey, apa itu di rak tumpukan atasnya
sebuah buku bersampul hitam hardcover dengan tulisan emas Qhasashul
Anbiya karya Ibnu Katsir, waah saya yang penggemar Ibnu Katsir ini
segera ingin mengambil buku itu apalagi Qhasashul Anbiya ini adalah ringkasan tentang cerita Nabi dari kitab Al-Bidayah wan Nihayah yang 22 jilid itu, namun mengingat saya dan ayah belum makan pagi
sedangkan hari mulai beranjak siang dan buku itu berada di rak tumpukan atas
saya putuskan untuk kembali lagi nanti ke toko buku ini dengan harapan buku itu
masih tersisa untuk saya beli. Tunggu kisah selanjutnya ya kawan.
|
Ayah saya yang bercita-cita dapat menjadi bagian dari penghuni Baqi' |