Rosmayani
Nor Latifah*
“Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu
tulisan mampu menembus jutaan kepala,”
-
Sayyid Qutb
Perang pemikiran sangat berbeda dengan perang
fisik atau perang ala militer. Perang pemikiran dirasa lebih efektif dan lebih
menghemat biaya. Efektif karena dengan perang pemikiran, umat islam akan hancur
dari segi kualitas dan internal umat islam sendiri, bukan kuantitas seperti
halnya perang fisik yang dapat dipastikan akan mengeluarkan biaya yang lebih
besar. Perang pemikiran juga lebih mudah dilakukan karena senjatanya berupa
pemikiran dengan media yang sangat banyak. Seperti halnya media massa, cetak,
elektronik, karya-karya ilmiah, buku-buku sejarah palsu, lembaga pendidikan,
LSM bahkan melalui mulut ke mulut dengan mudah mereka lakukan tanpa kita sadari
akan bahayanya terhadap pendangkalan aqidah.
Sebagaimana media elektronik televisi saat ini,
banyak tontonan yang tak bermanfaat dan mengajarkan budaya yang jauh dari
nilai-nilai islam apabila tidak selektif dalam memilih program yang ditonton.
Imbasnya anak-anak kecil menjadi tau akan budaya pacaran dan ikhtilat mendekati zina yang sangat
ditentang dalam islam.
Komunitas yang dengan terang-terangkan mengusung
perang pemikiran di Indonesia telah menjamur tak terbendung seperti yang
disampaikan Dr. Fahmi Hamid Zarkasy dalam bukunya Misykat refleksi tentang
westernisasi, liberalisasi dan islam, bahwa buku-buku yang mereka tulis dan
dari kerjasama antarmereka dalam berbagai proyek pluralism, feminism dan
kesetaraan gender serta gerakan lain yang mengusung sekularisme dan liberalism,
nama-nama mereka itu jelas, khususnya yang ada di Jakarta. Diantaranya adalah Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP),
Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA), KAPAL (Lingkaran Pendidikan Alternatif)
Perempuan, Jaringan Islam Liberal (JIL), International Centre For Religious
Pluralism (ICIP) dan masih banyak lagi.
Begitu dasyatnya serangan dengan model perang pemikiran,
maka harus ada upaya kongkrit yang dilakukan umat islam untuk membendung arus
perang pemikiran tersebut. Karena ini adalah perang pemikiran maka senjata
untuk perangnya adalah ilmu pengetahuan. Ghazwul
Fikri hanya bisa dimenangkan dengan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu umat
islam haruslah meningkatkan interaksi dengan Al-Qur’an dan Hadist Nabi,
menghidupkan forum-forum keilmuan dan sibukkan diri dengan membaca sebagai
bentuk membentengi diri dengan kesadaran pentingnya ilmu pengetahuan yang
disertai dengan aqidah yang kuat.
Islam sebagai peradaban yang pernah bangkit dan
maju menguasai dunia karena ilmu. Dan penyebab kemunduran umat Islam saat ini
adalah juga karena kemiskinan ilmu. Tidak berarti tidak berpendidikannya umat
Islam. Tapi, pendidikan yang kita terima bukan pendidikan Islam. Ilmu yang kita
kuasai juga bukan ilmu yang berdasarkan pada prinsip keilmuan Islam. Mestinya
semua ilmuwan Muslim bisa disebut ulama. Tapi, nyatanya tidak, karena memang banyak
cendikiawan Muslim yang tidak memahami Islam. Oleh karena itu agar umat islam
bisa maju, umat Islam harus mengembangkan ilmu-ilmu Islam yang terdiri dari
ilmu syariah dan ilmu kauniyah, yang
dalam istilah awam disebut ilmu agama dan ilmu umum.1
Dari
uraian diatas dapat kita simpulkan tiga fakta menarik. Satu, bahwa saat ini
kita tengah berada dalam era perang pemikiran. Dua, dasyatnya serangan
pemikiran dari musuh-musuh Islam yang berkomplot menebar paham-paham
sekularime, liberasime, pluralism, humanism dan lain sebagainya bertujuan untuk
merusak aqidah dan menimbulkan keraguan pada tubuh umat Islam sendiri yang pada
akhirnya ikut dengan pola pemikiran dan gaya hidup mereka. Tiga, umat Islam
haruslah membentengi diri dan mengangkat senjata dengan ilmu pengetahuan yang
berpegang teguh pada aqidah yang kuat yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Umat
Islam harus menjadi umat yang produktif menghasilkan karya-karya pemikiran
sebagai bentuk perlawanan dan menebarkan indahnya cahaya Islam dimuka bumi.
Sebagaimana yang dikatakan Sayyid Qutb bahwa Satu peluru hanya bisa menembus
satu kepala, tapi satu tulisan mampu menembus jutaan kepala.
* Orang biasa yang selalu berusaha untuk menebar manfaat
* Orang biasa yang selalu berusaha untuk menebar manfaat
1Dr. Hamid Fahmy
Zarkasyi, Misykat Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi
dan Islam (Jakarta : INSIST,2012)260
0 komentar:
Posting Komentar