“Penghina
Jokowi Rajin Ikut Pengajian” begitulah judul sebuah berita di sebuah media
nasional pada hari kamis, 30 oktober 2014 yang lalu. Mungkin masih segar
diingatan kita, tentang fenomena seorang pemuda yang bernama Muhammad Arsyad
(23 th) yang sempat ditahan di Markas Besar
Kepolisian Republik Indonesia karena menjadi tersangka penghinaan Presiden Joko
Widodo di media sosial. Judul berita tersebut terasa terdensius dengan
retorika pengusung humanisme di era sekarang, serangkaian logika-logika seperti
halnya “Percuma taat beragama tapi tidak manusiawi”, “Daripada beragama tapi
memiliki moral yang jahat lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”.
Itulah logika dan mengandung unsur propaganda para pembenci agama yang terlihat
sangat humanis namun menjurus pada atheis.
Mengenal Humanisme
Faham
humanis sangat berkembang di dunia modern, khususnya di kalangan orang-orang
Barat. Humanisme adalah suatu faham yang memandang bahwa manusia merupakan hal
yang paling penting di dalam kehidupan. Sehingga mulia-hinanya seseorang
dinilai semata-mata pada perilaku baiknya kepada sesama manusia. Hal yang biasa
diistilahkan dengan ”good deeds” atau melakukan
perbuatan terpuji. Humanisme tidak mengkaitkan perbuatan baik seseorang dengan
Sang Pencipta. Argumentasi mereka yang menggunakan fakta-fakta empiris yang
mudah diterima terkadang lebih berbahaya dari pada serbuan senjata.
Sejarahnya,
memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi
antroposentris (manusia sebagai
pusat). Perubahan tersebut dianggap sangat revolusioner yang selalu mengiringi
kebudayaan Barat modern yang traumatic dengan dogma gereja, hal tersebut
berimbas pada keyakinan mereka yang tidak lagi percaya pada agama. Agama bagi
mereka bukan tempat yang baik untuk saling menghargai manusia. Maka dari itu
mereka mengganti agama dengan humanisme.
Pada
dasarnya, orang-orang Barat memang masih melakukan kajian tentang studi agama.
Studi agama di sana masih dilakukan secara serius, meskipun peminat bidang
kajian ini tidak sebanyak bidang sains dan teknologi. Hanya saja, pendalaman
kajian agama yang dilakukan tentunya jauh dari pengamalan. Agama dianggap hanya
sebatas ilmu yang dituntut kebenaran dan diperdebatkan. Studi agama hanya
sebagai ilmu yang hanya menambah koleksi jurnal-jurnal kajian religious, bukan
untuk diyakini apalagi diamalkan. Sehingga sangatlah wajar jika paham humanisme
pada akhirnya menjurus kepada atheis.
Sejarah Humanisme
Pada abad ke-15, humanisme dan renaissance saling
mempengaruhi, dan keduanya tidak lagi bersifat Kristen. Humanisme bercorak
keduniawian. Berkembanglah pendapat bahwa orang hidup harus menikmati segala
kesenangan yang diberikan oleh dunia ini. Kaum humanis adalah materialis, tidak
percaya akan dunia rohani, dan empiristis dalam pendekatan mereka terhadap
pengetahuan dengan mempertahankan bahwa pengetahuan datang dari indera.
Humanisme
barat berkembang dalam dua bentuk sebagai humanisme moderat dan sebagai
humanisme anti agama. Humanisme moderat menjunjung tinggi keutamaan manusia
yang luhur seperti kebaikan hati, kebebasan hati, wawasan yang luas,
keterkaitan dengan seni, universalisme (Nilai budi dijunjug tinggi). Merasa
dekat dengan alam, penolakan fatalisme, toleransi positif,
Humanisme
anti agama dipahami sebagai takhayul atau keterikatan manusia pada
irasionalitas sehingga manusia dapat menemukan dirinya jika ia melepaskan diri
dari agama.Tokoh humanisme atheis Ludwig Feurbach (1804-1872) yang memakai
agama sebagai keterangan manusia. Karx Marx memandang agama sebagai candu
masyarakat. Disebut juga Friederic Nietzsche, Sigmund Freud (agama sebagai
ilusi) dan Jean Paul Sartre.
Humanisme nyaris
identik dengan ateisme, dan fakta ini dengan bebas diakui oleh kaum humanis.
Terdapat dua manifesto penting yang diterbitkan oleh kaum humanis di abad yang
lalu. Yang pertama dipublikasikan tahun 1933, dan ditandatangani oleh sebagian
orang penting masa itu. Empat puluh tahun kemudian, di tahun 1973, manifesto
humanis kedua dipublikasikan, menegaskan yang pertama, tetapi berisi beberapa
tambahan yang berhubungan dengan berbagai perkembangan yang terjadi dalam pada
itu. Ribuan pemikir, ilmuwan, penulis, dan praktisi media menandatangani
manifesto kedua, yang didukung oleh Asosiasi Humanis Amerika yang masih sangat
aktif.
Jika kita pelajari
manifesto-manifesto itu, kita menemukan satu pondasi dasar pada
masing-masingnya: dogma atheis bahwa alam semesta dan manusia tidak diciptakan
tetapi ada secara bebas, bahwa manusia tidak bertanggung jawab kepada otoritas
lain apa pun selain dirinya, dan bahwa kepercayaan kepada Tuhan menghambat
perkembangan pribadi dan masyarakat. Misalnya, enam pasal pertama dari Manifesto
Humanis adalah sebagai berikut:
Pertama: Humanis
religius memandang alam semesta ada dengan sendirinya dan tidak diciptakan.
Kedua: Humanisme
percaya bahwa manusia adalah bagian dari alam dan bahwa dia muncul sebagai
hasil dari proses yang berkelanjutan.
Ketiga: Dengan
memegang pandangan hidup organik, humanis menemukan bahwa dualisme tradisional
tentang pikiran dan jasad ha-rus ditolak.
Keempat:
Humanisme mengakui bahwa budaya religius dan peradaban manusia, sebagaimana
digambarkan dengan jelas oleh an-tropologi dan sejarah, merupakan produk dari
suatu perkembangan bertahap karena interaksinya dengan lingkungan alam dan
warisan sosialnya. Individu yang lahir di dalam suatu budaya tertentu sebagian
besar dibentuk oleh budaya tersebut.
Kelima:
Humanisme menyatakan bahwa sifat alam semesta digambarkan oleh sains modern
membuat jaminan supernatural atau kosmik apa pun bagi nilai-nilai manusia tidak
dapat diterima…
Keenam: Kita
yakin bahwa waktu telah berlalu bagi teisme, deis-me, modernisme, dan beberapa
macam “pemikiran baru”
Kerancuan Paham Humanisme
Pada
tahun 1948 terbentuklah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang
merupakan standarisasi kemanusiaan yang formal dan disepakati banyak Negara
pendukung humanism tanpa melibatkan agama-agama yang menjadikan hasilnya
deklarasi bersifat tidak universal. Logikanya, jika memang ingin membuat suatu
aturan humanism, standar yang dibuat haruslah dapat diterapkan kepada seluruh
masyarakat dunia yang memiliki ragam suku budaya dan agama. Disinilah letak
kecacatan deklarasi DUHAM yang bersifat sangat tendensius dan menjurus dukungan
kepada atheis juga pembenci agama.
Deklarasi
DUHAM rupanya menimbulkan berbagai reaksi tidak puas dari kaum religious. Reaksi
tersebut ditandai dengan diadakannya acara Project
on Religion and Human Right pada tahun 1993 di New York yang merupakan
prakarsa untuk merevisi DUHAM dari kaum religious.Tidak hanya mendapat protes
dari kaum religious barat, di kalangan umat Islam yang berasal dari Negara
Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir dan sebagainya juga turut menyadari
dominasi humanism tendensius dalam DUHAM.
Mereka
menganggap DUHAM gagal memasukkan pertimbangan konteks cultural dan religious
dari Negara-negara non Barat. Utusan Iran di PBB tahun 1981, Said
Rajaie-Khorassani malah menyatakan bahwa “DUHAM adalah hasil pemahaman sekuler
dari tradisi Yahudi Kristen yang tidak dapat diterapkan ke dalam Islam”
Islam Lebih Rasional dan Humanism
Pada
5 Agustus 1990, tiga tahun lebih awal dari acara Project on Religion and Human Right di New York, umat Islam lebih
dahulu mengeluarkan deklarasi tandingan DUHAM untuk membungkam kaum humanism.
Deklarasi tersebut bernama Cairo
Declaration on Human Right in Islam (CDHRI) yang diadakan oleh Organisasi
Konferensi Islam (OKI) dengan diikuti 45 menlu Negara OKI. Deklarasi tersebut bertujuan
memberikan gambaran hak-hak asasi manusia menurut Islam yang mengacu pada
syariat Islam.
Jika
menurut manifesto humanism yang meyakini bahwa kepercayaan kepada Tuhan
menghambat perkembangan pribadi dan masyarakat adalah benar, tentunya isi
Deklarasi Cairo akan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Namun,
nyatanya tidak dan hal tersebut membuktikan bahwa logika kaum humanis tersebut
adalah salah.
Bahkan
Deklarasi Cairo tidak ekslusif untuk umat islam saja. Ada terdapat banyak pasal
tentang pelarangan diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan,
agama, afiliasi politik dan status sosial. Jadi, logika yang benar adalah
semakin religious seseorang justru ia semakin manusiawi, tapi semakin humanis
seseorang justru semakin atheis.
Islam
mengatur manusia dengan sangat sempurna akan kehidupan bermasyarakat dan
menjunjung tinggi hubungan dengan manusia sebagaimana hadist Nabi :
“Manusia
yang paling dicintai Allah ialah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dan perbuatan yang paling disukai di sisi Allah ialah mendatangkan kebahagiaan
kepada sesama muslim.” (HR
Thabrani)
Berjiwa
humanis memang merupakan bagian dari ajaran Islam, tetapi jika menyandingkan
Islam dengan ajaran duniawi Humanisme adalah suatu kesalahan. Islam terlalu
sempurna jika disandingkan dengan paham Barat yang baru lahir pada penghujung
abad 15 itu. Justru sinkretisme Islam dengan ideologi lain malah
akan mencederai dari kesempurnaan agama Islam itu sendiri sebagai agama yang
sempurna dan paripurna, tidak ada keraguan padanya sedikitpun.
Manusia
yang berideologi humanisme melakukan segenap kebaikannya tanpa dilandasi iman
kepada Allah dan Hari Akhir. Sedangkan seorang muslim mengerjakan kebaikan
apapun senantiasa dilandasi pengharapan akan ridha, rahmat dan ampunan Allah
bagi dirinya dan sesama manusia kelakpada hari kebangkitan. Jika ia berbuat
baik namun tidak diiringi dengan keyakinan akan adanya bari berbangkit, maka
perbuatannya menjadi sia-sia di mata Allah. Walaupun ia tetap akan mendapat
manfaat di dunia, namun di akhirat perbuatannya tersebut tidak memberi kebaikan
apapun bagi si pelaku. Sebagaimana hadist Nabi Muhammad SAW :
Berkata
Aisyah radhiyallahu
’anha: “Ya Rasulullah, di masa jahiliyyah Ibnu Jud’an menyambung tali
silaturrahim dan memberi makan kepada orang miskin. Apakah hal itu dapat
memberikan manfaat bagi dirinya?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjawab: “Semua itu tidak akan
memberikan manfaat baginya karena sesungguhnya dia tidak pernah seharipun
berdoa: ”Ya Rabbku, ampunilah kesalahanku pada hari Kamat.” (HR Muslim 315)
Sumber Artikel :
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Misykat Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan Islam
(Jakarta: INSIST, 2012).
Artawijaya, Indonesia
Tanpa Liberal (Jakarta: Pust ka Al-Kautsar, 2012).
Id.harunyahya.com
0 komentar:
Posting Komentar