Pesantren Ath Tharriq terletak di dekat area Perkantoran
Pemerintahan Daerah (Pemda) Kabupaten Garut. Berada di tengah persawahan yang
tersisa dari kepungan proyek perumahan. Pesantren ini berlokasi di tengah
perkampungan urban, dimana penduduknya sebagian berasal dari desa–desa sekitar
Garut yang datang ke kota untuk mengadu nasib. Pesantren ini juga berada sangat
dekat dengan sebuah Perguruan Tinggi, tepat di Kelurahan Sukagalih RT/RW 04/12,
Kecamatan Tarogong Kidul.
Yang berbeda dari pesantren biasanya, pesantren Ath-Thariq merupakan
sebuah pesantren berbasis permakultur yang terletak di Kota Garut. Permakultur
merupakan cabang ilmu ekologis yang mendesain sebuah sistem pertanian yang
berkelanjutan dan terintegrasi yang tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan
pangan manusia saja, namun juga memperhatikan siklus ekosistem flora dan fauna
yang ada.
Dua orang peserta Indonesia
Bangun Desa (IBD) angkatan ke dua Lusi dan Yani mengadakan kunjungan dalam
rangka mempelajari permakultur di Pesantren Ath-Thariq Garut pada hari minggu
dan senin, 25-26 Januari 2015. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Nissa Wargadipura bersama suaminya Ibang Lukmanurdin selaku
pengasuh Pesantren Ath-Thariq.
“Etika permakultur yang mencakup peduli bumi, peduli semesta
dan peduli masa depan merupakan rangkaian dari pada menjaga ekosistem dari
kerusakan yang diperbuat oleh manusia. Di pesantren ini kami mencoba menerapkan
kepedulian tersebut dengan berlandaskan aqidah islam yang merupakan rahmatan lil’alamin yang artinya merupakan
agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua seluruh alam semesta,
termasuk hewan, tumbuhan, apalagi sesama manusia. Caranya ialah dengan
membangun kebiasaan – kebiasaan berperilaku ramah lingkungan yang
dibentuk sejak dini dan dibiasakan terus menerus oleh para pelaku belajar di
pesantren, terutama pada para santri kami. seperti menyemai, pengelolaan sampah
dapur dan plastik, membuat kompos dari lingkungan sendiri, bertanam sayuran
organik, dan sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia” terang pengasuh
pesantren yang akrab dipanggil Abi Ibang tersebut memulai diskusi akan
pentingnya pertanian organik berkelanjutan untuk menjaga ekosistem lingkungan.
Suasana di pesantren memang sangat asri di sekeliling
terlihat rumpun tanaman sereh yang sangat banyak, sereh selain berfungsi untuk
bumbu dapur, dan obat herbal juga digunakan untuk tempat bersarang sebagai
predator tikus yang kerap kali meresahkan manusia dani perusak tanaman padi.
Selain sereh juga terdapat banyak tanaman gumitir yang berfungsi sebagai pengusir hama.
Penerapan pestisida alami merupakan bagian dari keterpaduan ekosistem yang
mendukung permakultur.
“Selain memperdalam ilmu agama di pesantren ini, harapan
saya pesantren ini bisa menjadi
pesantren yang bisa membentuk pribadi yang mandiri dan juga mandiri pangan.
Kita membuat benih, pupuk, pestisida dan fungisida alami sendiri. Sehingga
pangan yang kita olah benar-benar yang alami dari kita untuk kita” terang umi
Nissa Wargadipura.
Dua hari peserta Indonesia Bangun Desa (IBD) telah belajar
banyak hal di pesantren tersebut antara lain adalah membuat kompos bekas
cacing, mol (mikro organisme lokal), zat perangsang tumbuh tanaman, herbal,
pembenihan, mengetahui ph tanah secara alami dan mengetahui kandungan unsur
hara tanah.
“Saya sangat senang ketika ada anak muda yang mau belajar dan
terus berkarya untuk negri agraris kita, ajak teman-teman kalian untuk belajar
bersama disini” ujar umi Nissa.
Membuat kompos bekas cacing (kascing)
dengan bahan-bahan :
1. irisan gedebok pisang
2. bubur kertas
3. kotoran domba
4. cacing lumbricus luberus
diskusi tentang permakultur dengan abi Ibang Lukman
Membuat mol dari :
1. potongan kecil jantung pisang
2. cucian air beras
3. gula 2 sendok makan
0 komentar:
Posting Komentar