Kota Banjarmasin adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota dari provinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin terletak pada 3°15' sampai 3°22' Lintang Selatan dan 114°32' Bujur Timur, ketinggian tanah berada pada 0,16 m di bawah permukaan laut dan hampir seluruh wilayah digenangi air pada saat pasang. Kota Banjarmasin berlokasi di sisi timur sungai Barito. Letak Kota Banjarmasin nyaris di tengah-tengah Indonesia.
Menurut data statistik 2001 dari seluruh luas wilayah Kota Banjarmasin yang kurang lebih 72 km² ini dapat dipersentasikan bahwa peruntukan tanah saat sekarang adalah lahan tanah pertanian 3.111,9 ha, perindustrian 278,6 ha, jasa 443,4 ha, pemukiman adalah 3.029,3 ha dan lahan perusahaan seluas 336,8 ha. Perubahan dan perkembangan wilayah terus terjadi seiring dengan pertambahan kepadatan penduduk dan kemajuan tingkat pendidikan serta penguasaan ilmu pengetahuan teknologi.
“Kota 1000 Sungai.” Itulah julukan bagi Kota Banjarmasin. Memang, ada ratusan sungai yang malang melintang di kota ini. Kota Banjarmasin dibelah oleh sungai Martapura dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut Jawa, sehingga berpengaruh kepada drainase kota dan memberikan ciri khas tersendiri terhadap kehidupan masyarakat, terutama pemanfaatan sungai sebagai salah satu prasarana transportasi air, pariwisata, perikanan dan perdagangan. Kehidupan masyarakatnya pun sangat akrab dengan sungai. “Dulu sewaktu masih kecil, kami senang berenang di sungai Baru,” kata Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Dr. Gusti Muhammad Hatta mengisahkan masa kecilnya di Kecamatan Sungai Baru di Banjarmasin Tengah. Airnya jernih dan terasa sejuk.
Tapi, itu kondisi kota Banjarmasin puluhan tahun silam. Sebab, wajah kota yang pernah menjadi ibukota Kesultanan Banjar kini telah banyak berubah. Hubungan mesra warga kota dengan sungai kini mulai tergerus. Sebab, berbagai perubahan yang terjadi, perlahan tapi pasti telah mengubah budaya masyarakat Banjarmasin dari berbasis sungai menjadi berbasis lahan. “Sudah ratusan aliran sungai di Kota Banjarmasin menghilang akibat ulah manusia dan degradasi alam,” ujar seorang wartawan asal Banjarmasin. Ini terjadi, karena masyarakat kurang peduli terhadap sungai, dan pemerintah kurang tegas terhadap manusia yang merusak sungai, lanjut dia.
Menurut data, jumlah sungai yang malang melintang di Banjarmasin sekitar 400 lebih sungai. Kini yang tersisa hanya sekitar 108 sungai. Jumlah tersebut tentu akan terus berkurang jika pemerintah tidak serius menyelamatkan sungai. Beberapa sumber menyebutkan, tingkat degradasi lingkungan sungai di Banjarmasin termasuk cukup serius. Beberapa sungai sudah mengalami pendangkalan dan penyempitan hebat sehingga besaran badan sungai menjadi sebesar parit atau got.
B. Permasalahan
Banyaknya sungai yang menghilang di kota Banjarmasin mengundang keprihatinan banyak pihak. “Keunikan Banjarmasin itu terletak pada banyaknya sungai sehingga wajah kota ini berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia,” ujar seorang pengamat perkotaan. “Sebenarnya, banyaknya sungai itulah yang sebenarnya membuat Banjarmasin menjadi sexy, karena ia jadi beda dengan kota-kota lain, dan sungai adalah modal alami yang bisa dipoles agar memikat wisatawan,” kata dia.
Menurut data sungai di Indonesia, selain terdapat tiga sungai besar (lebar lebih dari 500 meter) yakni Sungai Barito, Sungai Martapura dan Sungai Alalak, di Banjarmasin juga terdapat sungai-sungai berukuran sedang (lebar di atas 25 m hingga 500 m) seperti Sungai Andai, Sungai Duyung, Sungai Kuin dan Sungai Awang. Sedangkan sungai kecil (lebar kurang dari 25 m) jumlahnya sekitar 77 sungai, antara lain Sungai Guring, Sungai Keramat, Sungai Kuripan, dan Sungai Tatas.
Sungai-sungai itu selain menghadapi ancaman pendangkalan dan penyempitan juga terancam oleh pencemaran sehingga mutu airnya sudah tidak layak dikonsumsi. Hasil uji petik yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kalimantan Selatan menunjukkan secara umum kondisi air sungai di Banjarmasin telah banyak mengandung logam berat dan bakteri ecolli. Pencemaran paling parah terjadi di Sungai Alalak.
Selain itu, berbicara mengenai peranan sungai di Kalimantan, khususnya di Banjarmasin, dimana ketika dahulu kala sungai sebagai jalur utama transportasi, dari waktu ke waktu, mengalami berbagai perubahan dan sungaipun semakin ditinggalkan, jalur darat memang menjanjikan transportasi yang lebih cepat dan efektif dibandingkan dengan transportasi sungai, berakibat pada semakin sepinya dan terlupakannya sungai-sungai tersebut. Apalagi, pemerintah lebih memprioritaskan peningkatan sarana dan prasarana jalur darat, sehingga berpengaruh terhadap peranan sungai.
Akibatnya, wilayah-wilayah di jalur sungai agak tertingal perkembangannya. Hal itu juga berdampak terhadap jasa angkutan sungai yang merupakan mata pencaharian hidup sebagian masyarakat (sungai). Ditengah majunya perkembangan transportasi darat, perlahan tapi pasti, aktivitas transportasi sungai berkurang.
Punahnya sebagian sungai di Banjarmasin tentu tidak cukup dipandang sebagai masalah teknis sebagai wujud ketidakmampuan upaya penyelamatan dan pemeliharaan mengimbangi laju kerusakan, tapi juga berkaitan erat dengan pergeseran budaya yang terjadi di masyarakat kota ini. Modernisasi kota yang bertujuan menempatkan Banjarmasin pada posisi sejajar dengan kota-kota di negara-negara maju, disadari atau tidak telah mendorong perubahan pola hidup dan tatanan sosial budaya masyarakat setempat. Nilai-nilai budaya lokal yang akrab dengan sungai, kini kian memudar karena pembangunan kota lebih berorientasi pada model pembangunan berbasis lahan. Akibatnya, banyak anak sungai diuruk menjadi lahan untuk bangunan. Rumah panggung kini sudah tidak diminati lagi karena dianggap kuno.
Pergeseran budaya, dari budaya sungai menjadi budaya daratan tampaknya menjadi salah satu faktor yang ikut memberikan kontribusi terhadap kerusakan sungai. Pergeseran budaya tersebut tampak menjadi masalah serius bagi Banjarmasin ke depan.
“Dalam kehidupan urang banua banjar, sungai memiliki makna vital dan mendalam. Sungai tidak hanya sarana transportasi, tapi merupakan urat nadi kehidupan. Budaya masyarakat Banjar adalah budaya masyarakat sungai. Sebab sungai-sungai itulah yang menyebabkan banjar sempat berjaya dimasa lampau. Karena itu, keberadaan sungai seharusnya menjadi identitas yang membanggakan bagi warga Banjarmasin. Tapi, masih adakah orang Banjarmasin yang bangga dengan identitas ini? Rendahnya kepedulian masyarakat sehingga tidak tergerak lagi untuk mempertahankan keberadaan sungai sesungguhnya pertanda bahwa sudah tak ada lagi, atau sudah sangat sedikit warga Banjarmasin bangga dengan identitas itu.
Meredupnya kebanggaan terhadap sungai sebagai identitas kota Banjarmasin, mungkin saja karena sungai-sungai itu tidak lagi menjadi tumpuan hidup yang dapat menjanjikan masa depan lebih baik. Dengan kata lain, jika dilacak lebih jauh, akar penyebab ketidakpedulian masyarakat terhadap sungai bisa berkaitan erat dengan degradasi lingkungan DAS yang menyebabkan sumber daya alamnya menipis sehingga tidak cukup memenuhi kebutuhan penduduk. Dalam perspektif inilah, perubahan orientasi kehidupan yang terjadi pada masyarakat Banjarmasin dari sungai ke darat adalah hal yang manusawi dan kerusakan sungai adalah keniscayaan yang tak terelakkan.
Pada tahun 70 – 80 an sungai-sungai di Banjarmasin sangat luas dan dalam serta mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sungai di sepanjang jalan Ahmad Yani dulunya merupakan jalur transportasi utama di Banjarmasin, sebab sungai tersebut memanjang sampai Martapura dan mempunyai cabang-cabang yang banyak yang dapat dilalui oleh jukung sehingga banyak masyarakat menggunakannya sebagai jalur transportasi untuk bepergian ke kota mengingat dulunya masyarakat Banjar kebanyakan tinggal di pinggir sungai.
C. Lesson Learned
Pelajaran yang bisa diambil dari kota Banjarmasin yang paling utama ialah pentingnya hubungan sungai dengan masyarakat masih perlu banyak pembenahan. Orientasi yang beredar dimasyarakat saat ini, kebanyakan mereka hanya beranggapan bahwa sungai hanyalah transportasi jaman dulu yang kuno dan tidak modern. Akibatnya terjadi perubahan kehidupan yang mana dulu sungai adalah urat nadi kehidupan budaya banjar berbasis sungai, namun sekarang sudah berubah menjadi Banjarmasin berbasis lahan. Sungai-sungai diuruk dengan tanah akibatnya berarus-ratus sungai mengalami pendangkalan, penuh dengan sampah bahkan tidak sedikit pula mendapat julukan sebagai sungai mati. Rumah panggung pun yang identik dengan kehidupan sungai sudah jarang diminati dan dianggap kuno.
Padahal jika kita mau berkaca pada kota-kota sungai di negara maju. Seperti halnya Venesia yang telah berhasil menjadikan kanal sebagai icon mereka yang ternyata bisa menjadi penghasil devisa terbesar dari wisata airnya dan bisa menjadi potensi yang besar bahkan jika telah dikembangkan dengan baik tidak menutup kemungkinan bahwa sungai ternyata dapat menguntungkan beberapa aspek seperti halnya transportasi, pariwisata, dan ekonomi.
Dalam hal transportasi Venesia telah berhasil menjadikan transportasi airnya sebagai sarana transportasi utama yang layaknya transportasi darat punya rambu rambu dan lampu merah juga. Bangunan bangunan kuno yang menjulang tinggi disepanjang sungai sungai membuat perjalanan tak akan membosankan. Lain halnya dengan San Antonio riverwalk yang dijadikan objek wisata sekaligus ruang public bagi masyarakat setempat. Indah sekaligus dijadikan sentra berwisata kuliner. Padahal pada awalnya daerah ini cukup diperhatikan sebagai daerah rawan bencana alam.
Padahal jika pemerintah daerah berkaca pada sejarah kota Banjar tempo dulu dimana masyarakat pada waktu itu lebih memilih jalur transportasi melalui sungai ketimbang melalui darat, mungkin sekarang mereka dapat mencari jalan keluar tentang masalah kemacetan yang sekarang sudah menjadi rutinitas setiap hari dengan membuat jalur transportasi air. Mungkin kota Banjarmasin menjadi kota pertama yang dapat menerapkan jalur air sebagai jalur transportasi dalam kota ketimbang kota Jakarta yang notabene sungainya tidak sebanyak di Banjarmasin.
Namun sangat sangsi untuk membuat jalur transportasi tersebut pada masa sekarang mengingat Banjarmasin sudah kehilangan sungai-sungai yang dulunya dapat dilalui oleh kapal atau jukung, kita sudah melupakan kebudayaan kita tempo dulu dan akibatnya sungai-sungai sekarang penuh dengan sampah dan diatasnya berdiri bangunan megah yang akhirnya mempersempit aliran sungai tersebut. Karena itu kita perlu benar-benar mempelajari sejarah daerah kita khususnya sejarah sungai-sungai yang ada di Banjarmasin yang dulunya merupakan urat nadi masyarakat Banjar tempo dulu. Melalui sejarah kita dapat berkaca pada masa yang telah lalu untuk dijadikan jalan menuju masa depan yang lebih baik.
Dalam hal ekonomi sebenarnya Banjarmasin sudah memiliki daya tarik tersendiri yang cukup dikenal oleh kalangan luas Indonesia hingga mancanegara. Siapa yang tidak mengenal pasar terapung? Pasar yang identik dengan jukung (perahu tradisional), sungai ,barang dagangan dan jual beli memakai ijab kabul di atas jukung. Jika potensi ini benar-benar dimaksimalkan selain menjadi penggerak dibidang ekonomi budaya ini sangatlah pantas menjadi wisata unik dan menarik karena tidak semua kota di Indonesia yang mempunyai ciri khas sepeti ini.
Sebenarnya banyak pula potensi sungai lain yang dapat dikembangkan di Banjarmasin. Seperti halnya melestarikan dan menghidupkan kembali rumah-rumah panggung tentu akan menjadi ciri khas tersendiri dan bahkan bisa menjadi aset wisata. Sayangnya arus modernisasi begitu gencar menggerus sungai beserta budaya banjar yang ada sehingga diperlukan adanya upaya keras dari pemerintah dan peranan warga untuk mengembalikan citra kota Banjarmasin sebagai kota seribu sungai.
Karena itu, terkait dengan upaya pemeliharaan sungai-sungai di Banjarmasin, maka selain perlu tindakan-tindakan teknis yang terpadu dan menyeluruh dalam penyelamatan DAS dan rehabilitasi fungsi sungai, tak kalah pentingnya gagasan-gagasan kreatif dan langkah inovatif untuk menciptakan hubungan simbiose mutualistik antara sungai dengan penghidupan masyarakat. Tentu dengan itu pula warga Banjarmasin akan merasa bangga dengan identitas sebagai warga Kota Seribu Sungai. Jika Venesia bangga dengan kanal-kanalnya kenapa kita tidak berusaha untuk menjadikan sungai sebagai kebanggaan kita.
(hahaha entri tugas neh ^,^V )